Mengambil tulisan orang: Bagus juga ya... tulisan bersumber dari Paskomnas Indonesia
PASKOMNAS - Kobis. Awal Juni lalu, Kobis dari China masuk pasar induk di Jakarta dan Tangerang menyusul “temannya” si Bawang Putih, wortel, Jeruk Pongkam, Apel, Peer dan lainnya yang sudah mapan dipasar Indonesia. Seperti komoditi pendahulunya, kobis krop China masuk dengan penampilan cantik dan harga yang lebih murah dari Kobis krop Pengalengan, Dieng, Bromo atau Brastagi.
Tentu saja dalam waktu sekejab kobis import itu habis dan pembeli grosir berharap kobis yang dibungkus tissue itu datang lagi, sokor tiap hari, karena kobis merupakan makanan harian masyarakat. Benar, kobis memang salah satu jenis sayur banyak dikonsumsi rakyat hingga selebriti sehari-hari.Cepat habisnya kobis China dipasar itu penyebabnya jelas, yaitu karena mutu barangnya lebih baik dari kobis domestik dan harganya lebih murah. Waktu itu harga jual kobis Pengalengan dan Dieng dipasar induk Tanahtinggi – Tangerang Rp2.200,-, kobis Medan Rp3.000,- dan kobis China hanya dijual Rp1.800,-/kg. Ada dua hal yang menarik dari masuknya kobis China ke Indonesia itu.Pertama, Semua orang terkagum dengan harga kobis China itu sambil bertanya-tanya antar teman ngobrol dipasar.Perjalanan kobis dari China ke Jakarta memakan waktu hampir enam hari, tentu biayanya lebih mahal dibanding dari Medan ke Jakarta.Setelah dikurangi ongkos angkut, biaya kemasan, laba pedagang, bea masuk Indonesia dan laba petani, berapa harga pokok kobis itu dari petani di China sana. Kedua, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap masuknya kobis murah tersebut kenegara kita. Tidah ada yang mampu menjawabnya.Semua menerawang dengan bayangannya sendiri, termasuk para pemasok kobis dari Dieng dan Medan yang mebayangkan, sampai kapan mereka masih dapat memasok kobis kepasar induk kalau barang import murah itu masuk terus.Sementara saya berfikir, inilah awal dari “habisnya usaha agribisnis Nusantara”.Nanti orang Dieng, Pengalengan dan lainnya dinegri kita tetap menanam kobis, tetapi hanya untuk dimakan sendiri – pertanian subsisten.Perlu diketahui, produksi Kobis nasional kita saat ini 1,487 juta ton/tahun dan kebutuhan konsumen 1,368 juta ton/tahun. Kita surplus, tetapi ada import, kasusnya sama dengan Bawang Merah dan Cabe atau Kentang.
Porang.Sedikit orang yang mengenal tanaman Porang (Amorphopallus oncophillus) atau Suweg (Jawa), karena tanaman “lantai hutan” ini termasuk inferior didunia pangan.Hanya orang miskin dan tentara yang terjebak dihutan yang selama ini makan umbi Porang sebagai sumber karbohidrat.Tetapi sebenarnya bukan sebagai bahan pangan saja, Porang juga berguna sebagai bahan obat, bahan lem, felem, perekat tablet,pembungkus kapsul hingga sebagai penguat kertas.
Namun akhir-akhir ini Porang mulai banyak dibicarakan para pelaku bisnis karena peluang pasar eksportnya yang semakin besar.Jepang merupakan Negara yang banyak meminta tepung Porang.Disinilah pelajarannya. Berdasarkan keterangan Anis, seorang pengusaha tepung Porang dari Surabaya, tepung Porang dari Indonesia “pasti” akan sulit unttuk menembus pasar di Jepang karena bea masuknya kenegara Sakura itu sebesar 200% !!. Sementara itu dari Myanmar yang juga penghasil tepung Porang, untuk masuk ke Jepang tidak dikenakan bea masuk alias bea masuk 0%. Saya lalu memberi perkiraan kepada Anis, mungkin karena mutu tepung Porang kita kalah bagus atau tidak kontinyunya pasokan, ternyata bukan. Mutu tepung Porang kita sama bagusnya dengan yang dihasilkan Myanmar. Alasan yang dipakai Jepang memberi keistemewaan dengan bea masuk 0% karena Jepang ingin menolong masyarakat petani Myanmar yang rata-rata masih lebih miskindibanding petani Indonesia. Inilah alasan “emosional” yang kadang tidak rasional.Tetapi yang menarik bukan Jepang dan alasan emosionalnya memberi bea masuk yang berbeda.
Apahubungan antara Kobis dan tepung Porang ini, kok ditulis bersama. Ini hasil kami dan Anis lalu “ngudo roso” (Jawa) atau “gendu-gendu rasa” (Banyumas) atau ngerumpi. Indonesia itu kan sama-sama punya pemerintahan seperti Jepang. Kenapa Jepang bisa mengatur besarnya bea masuk atas barang import kenegaranya begitu “sesuka”nya. Ada yang diberi bea masuk 0% seperti kepada Myanmar – namun ada yang diberi bea masuk 200% seperti kepada Indonesia untuk barang sama. Karena itu, tepung Porang dari Indonesia akan “terhambat” masuk ke Jepang. Dengan begitu harga tepun Porang di Jepang terkendali.Karena kalau nekad masuk ke Jepang tepung Porang Indonesia harganya menjadi tinggi dan kalah bersaing dengan tepung Porang-nya Myanmar.Atau kalau diberi bea masuk sama rendahnya, nanti harga tepung Porang di Jepang turun, petani Myanmar yang miskin rugi. Jepang mengatur begitu, bukan untuk melindungi petaninya, tetaapi untuk melindungi petani miskin Negara lain.
Dengan alasan yang berbeda dengan Jepang, dalam rangka melindungi produk petani dalam negri, mestinya Indonesia bisa seperti Jepang dalam mengenakan bea masuk produk pangan import itu. Misalnya Kobis, wortel, bawang merah, atau buah apapun yang masuk Indonesia diberi bea masuk yang tinggi, sehingga produk petani sendiri terlindungi. Mengapa kita tidak bisa seperti Jepang ?...
Industry kreatif.Ada cerita menarik walau menyedihkan.Saya punya tetangga namanya Pak Budi, seorang pengusaha meubel ukir.Awal tahun 2000-an, usaha Pak Budi yang pabriknya di Solo itu dimulai dan semakin membesar, karena sebagian besar produknya dieksport ke Amerika dan Eropa.Karena keberhasilan itu, rumahnya dibangun dua lantai cukup mewah.Mobil truknya banyak, mobil keluarganya juga klas menengah.Anaknya sekolah diuniversitas yang mahal biayanya.Namun yang lebih baik lagi, amal sedekahnya untuk warga sekitar dan kampungnya juga besar.Semua tetangga mendoakan agar usaha Pak Budi semakin baik.
Namun beberapa tahun terakhir ini, usaha Pak Budi mulai menurun.Pak Budi mengeluh karena kalah bersaing dengan China.Sekarang, China memproduksi meubel ukir dengan desain mirip dengan meubel Indonesia, tetapi mutunya – presisinya – lebih baik dan harga jualnya ke Amerika dan ke Eropa lebih murah.Bisa lebih murah, karena para pengukir China menggunakan mesin dalam memproduksi meubel itu.Saya percaya, karena China memang terkenal sebagai perajin dengan produk berkualitas tinggi sejak ribuan tahun lalu.Bukan hanya produk berbahan kayu tetapi juga produk keramiknya. Tetapi yang aneh – atau tidak aneh – jenis kayu yang dipakai oleh perajin meubel ukir China itu sama dengan yang dibuat penrajin Indonesia Pakde, kata Pak Budi. Karena itulah, sekarang usaha Pak Budi itu menjadi “bangkrut”. Pekerja yang dulunya ratusan sudah di PHK, asetnya banyak dijual dan Pak Budi mulai menekuni usaha lain dari sedikit. Kami dan para tetangga menjadi kasihan, orang sebaik Pak Budi terkena dampak apa yang kami tak tahu, sehingga usahanya bangkrut. Saat ngobrol dengan Pak Budi, ternyata bukan hanya dia yang mengalaminya. Banyak pengusaha dari Jepara, yang terkenal sebagai sentra kerajinan ukir, juga mengalami hal yang sama. Bahkan, kawasan pantai utara di Jepara yang dulunya seperti mau menjadi kawasan mewah dengan rumah-rumahnya yang bagus, sekarang menjadi sepi.Menurut beberapa pengusaha, hal itu dapat terjadi karena adanya “illegal logging” dari Indonesia yang mengalir keluar negri, mungkin akhirnya sampai ke China juga. Bahan mentah yang dijual legal saja, akan menyebabkan kita “rugi”, apalagi bahan mentah illegal, tentu ada dua kerugian bagi kita. Berikutnya karena kita lambat dalam berinovasi dalam proses pembuatan ukir. Kita masih sangat tradisional, sementara para pesaing sudah menggunakan teknologi mekanik dalam produksi ukirnya yang presisinya tinggi.
Konklusi.Dari tiga komoditi kobis, porang dan industry ukir sebagai bahan diskursus ditulisan ini, nampaknya memang berjauhan sifatnya. Namun ada benang merah atau prinsip yang sama dalam membangun usaha ekonomi kerakyatan. Pertama, adanya satu format yang sama dalam mengembangkan usaha komoditi, yaitu konsisten terhadap pasar sebagai lokomotifnya. Kedua, berlangsungnya budaya industry dalam proses produksi yang bertektologi – inovatif – efisiensi - kontinyuitas. Ketiga, market ekspansif.Kobis China masuk ke Indonesia, menyusul komoditi hortiultura yang lain,mereka sudah menerapkan ketiga prinsip itu. Ada kolaborasi yang cantik antara pemerintah dan pengusaha dalam menghadapi “perang” bisnis klas dunia yang sudah mereka perkirakan lama sebelumnya. Salah satu yang mereka gunakan adalah data demografi disetiap Negara sebagai basis pasar. Setiap Negara rakyatnya pasti butuh pangan, kobis sebagai salah satu contoh komoditi pangan mereka buat kajian dan divisi khusus sehingga produk mereka menang “perang” dimana-mana .Setelah pangan cukup, masyarakat pasti butuh kesehatan yang mantap, agar mereka dapat makan lebih lama dan makan apapun.Untuk ini Porang sebagai bahan alami yang mendukung kesehatan, mereka (Myanmar) “mainkan” dalam bisnis.Pemerintah Myanmar ikut berperan dalam memasukkan produk Porangnya ke Jepang.Mungkin mereka “tidak malu” untuk mengatakan kalau petani pengusaha Porang itu kondisinya miskin.Kabar terakhir, agaknya China juga mau bermain dibisnis Porang ini dipasar dunia.Setelah pangan cukup dan sehat, masyarakat butuh tempat yang nyaman sekaligus untuk aktualisasi diri dimasyarakat.Meubel ukir merupakan perangkat rumah tangga yang klasik dan bergengsi bagi masyarakat manapun termasuk Amerika.Industry ukir mereka (China) ambil juga sebagai “core business” industry kreatif mereka.
Apakah kita mau mengejar atau menyaingi bisnis mereka dipasar?.Maka harus ada perubahan besar/revolusi secara makro mulai dari mental pengusaha, teknologi hingga kelembagaan usaha yang mampu berhadapan dengan pasar internasional yang besar dan modern.Peran pemerintah sangat besar dalam menciptakan iklim usaha yang baik, dengan konstruksi ekonomi kerakyatan.Para pengusaha yang mampu mengkorporasikan usaha kecil dari takyat harus diberi fasilitas oleh pemerintah agar berkembang.
Indonesia ini akan menjadi kuat kalau semua usaha rakyatnya hidup dan berkembang dan rakyatnya makmur. Semua usaha rakyatnya, bukan usaha beberapa orang rakyat saja.Pertumbuhan ekonomi yang besar (>6%/tahun) hanya akan baik kalau itu didasarkan atas berjalannya usaha kecil yang bergabung dalam korporasi-korporasi rakyat. Petani kobis, petani Porang atau komoditi apapun dapat berproduksi dengan baik dan dapat menjual dengan harga yang layak dan menguntungkan.Para pedagang eksport dapat menjual barangnya keluar negri dengan lancar dan menguntungkan karena ada peran pemerintah.Kekayaan Nusantara tidak dijual keluar negri dalam bentuk bahan baku tetapi dalam bentuk barang jadi yang berteknologi dan bernilai tambah.
Jakarta, 6 Juli 2014.
Paskomnas Indonesia
(Ditulis untuk menyambut Hari Krida Pertanian 2014).